LAZIMNYA
amanat Pembina Upacara yang disampaikan oleh Pembina Upacara setiap
Senin-Pagi dalam upacara bendera adalah bentuk lisan tanpa konsep
(tulisan). Jarang sekali seorang Kepala Sekolah atau guru yang mewakili
Kepala Sekolah sebagai pembina menyampaikan Amanat Pembinanya dalam
bentuk tertulis. Jika pun ada teks tulisan yang akan dibacakan, biasanya
itu hanya menjadi konsep saja. Pengecualiannya adalah jika Kepala
Sekolahnya membuatkan teks pidato yang wajib dibacakan oleh pembina
pengganti.
Kesempatan berpidato di depan para peserta didik
ketika menyampaikan amanat atau pembinaan pada saat apel upacara
bendera, pada hakikatnya mengandung dua dimensi manfaat. Di satu sisi
penyampaian amanat dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada peserta
upacara, khususnya peserta didik. Isi pembinaannya bisa masalah
informasi pendidikan dan pengajaran dan atau masalah kedisipilnan dan
peraturan. Sementara di sisi yang lain, kesempatan menyampaikan amanat
itu adalah kesempatan guru untuk membuktikan kemampuannya dalam
berbicara di hadapan audiens (peserta) upacara.
Tidak mudah
juga sebenarnya berbicara (pidato) ketika memberikan amanat upacara
bendera oleh seorang guru. Kalau pun sudah merasa terbiasa berbicara
menyampaikan materi pelajaran di depan kelas, belum ada jaminan kalau di
hadapan peserta upacara juga akan lancar menyampaikan materi
pembinaannya. Di ruang kelas hanya ada peserta didik kelas tersebut saja
sementara di lapangan upacara selain seluruh guru dan pegawai TU (Tata
Usaha) juga ada Kepala Sekolah. Terkadang kehadiran mereka cukup membuat
seorang guru pembina untuk sedikit grogi berbicara. Apalagi jika
berbicara di depan kelas ketika mengajar juga ternyata tidak atau belum
sebaik dan selancar yang diharapkan.
Berpidato pada saat
menyampaikan materi pembinaan dalam upacara bendera Senin-Pagi
sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai kesempatan untuk belajar
atau memperlancar keterampilan berbicaranya. Dari empat keterampilan
dalam berbahasa Indonesia, keterampilan berbicara sesungguhnya sangatlah
penting kedudukannya dalam fungsi dan tanggung jawab sebagai seorang
guru. Selain di ruang kelas, keterampilan berbicara dapat diaplikasikan
pada saat memberikan amanat dalam upacara bendera itu.
Selain
untuk pembinaan keterampilan berbicara, sejatinya penyampaian amanat
pada saat upacara bendera juga dapat dimanfaatkan untuk keterampilan
menulis. Artinya, sesudah keterampilan berbicara para guru dapat
melanjutkannya ke keterampilan menulisnya. Guru pembina sebaiknya tidak
berhenti pada usaha mencapai kemampuan berbicara saja. Dengan kompetensi
berbicara dan menulis selain membaca, betapa akan luasnya kesempatan
seorang guru untuk mengilhami peserta didik atau masyarakat lewat bicara
dan tulisannya.
Memanfaatkan momen pembina upacara untuk
keterampilan menulis dapat dilakukan antara lain dengan menyusun secara
baik setiap amanat yang akan disampaikan dalam bentuk tulisan. Walaupun
seorang pembina sudah merasa mampu berbicara secara spontan, alangkah
baiknya materi amanat yang akan disampaikan tetap ditulis dalam sebuah
konsep yang rapi. Panjang pendeknya tulisan (konsep) itu tergantung
alokasi waktu yang disediakan untuk menyampaikan amanat.
Persiapan pelaksanaan upacara bendera biasanya sudah jauh-jauh hari
disusun oleh sekolah. Jadwal pembina pun sudah dibuat oleh Kepala
Sekolah. Para guru yang akan bertugas –mewakili Kepala Sekolah sebagai
pembina– dalam upacara bendera juga sudah diberi tahu sebelumnya.
Maksudnya semua pihak yang terlibat (pejabat, petugas dan peserta)
upacara dapat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelancaran dan
kesuksesan upacara bendera nanti.
Bagi guru yang mendapat
giliran sebagai pembina, waktu beberapa hari menjelang tampil sebagai
pembina dapat dimanfaatkan untuk menyusun teks pidato yang akan
dibawakan dalam upacara nanti. Sekali lagi, walaupun guru tersebut tidak
akan membaca teks tersebut, namun persiapan teks pembina tetap lebih
baik dari pada tanpa teks. Selain sebagai alat menjaga konsistensi
materi pidato amanat juga secara tidak langsung sudah melatih diri untuk
keterampilan menulis. Selain itu, tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh
guru sebagai pembina upacara, dalam periode tertentu (satu tahun, dua
tahun atau tiga tahun) dapat kembali direvisi, diedit untuk ditulis
ulang. Kalau perlu, dikumpulkan menjadi sebuah tulisan lengkap, menjadi
sebuah buku yang suatu saat bisa saja diperbanyak (dicetak). ***
http://edukasi.kompasiana.com/ 2013/01/08/ dari-bicara-ke-menulis-surat-un tuk-guru-517197.html
Kesempatan berpidato di depan para peserta didik ketika menyampaikan amanat atau pembinaan pada saat apel upacara bendera, pada hakikatnya mengandung dua dimensi manfaat. Di satu sisi penyampaian amanat dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada peserta upacara, khususnya peserta didik. Isi pembinaannya bisa masalah informasi pendidikan dan pengajaran dan atau masalah kedisipilnan dan peraturan. Sementara di sisi yang lain, kesempatan menyampaikan amanat itu adalah kesempatan guru untuk membuktikan kemampuannya dalam berbicara di hadapan audiens (peserta) upacara.
Tidak mudah juga sebenarnya berbicara (pidato) ketika memberikan amanat upacara bendera oleh seorang guru. Kalau pun sudah merasa terbiasa berbicara menyampaikan materi pelajaran di depan kelas, belum ada jaminan kalau di hadapan peserta upacara juga akan lancar menyampaikan materi pembinaannya. Di ruang kelas hanya ada peserta didik kelas tersebut saja sementara di lapangan upacara selain seluruh guru dan pegawai TU (Tata Usaha) juga ada Kepala Sekolah. Terkadang kehadiran mereka cukup membuat seorang guru pembina untuk sedikit grogi berbicara. Apalagi jika berbicara di depan kelas ketika mengajar juga ternyata tidak atau belum sebaik dan selancar yang diharapkan.
Berpidato pada saat menyampaikan materi pembinaan dalam upacara bendera Senin-Pagi sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai kesempatan untuk belajar atau memperlancar keterampilan berbicaranya. Dari empat keterampilan dalam berbahasa Indonesia, keterampilan berbicara sesungguhnya sangatlah penting kedudukannya dalam fungsi dan tanggung jawab sebagai seorang guru. Selain di ruang kelas, keterampilan berbicara dapat diaplikasikan pada saat memberikan amanat dalam upacara bendera itu.
Selain untuk pembinaan keterampilan berbicara, sejatinya penyampaian amanat pada saat upacara bendera juga dapat dimanfaatkan untuk keterampilan menulis. Artinya, sesudah keterampilan berbicara para guru dapat melanjutkannya ke keterampilan menulisnya. Guru pembina sebaiknya tidak berhenti pada usaha mencapai kemampuan berbicara saja. Dengan kompetensi berbicara dan menulis selain membaca, betapa akan luasnya kesempatan seorang guru untuk mengilhami peserta didik atau masyarakat lewat bicara dan tulisannya.
Memanfaatkan momen pembina upacara untuk keterampilan menulis dapat dilakukan antara lain dengan menyusun secara baik setiap amanat yang akan disampaikan dalam bentuk tulisan. Walaupun seorang pembina sudah merasa mampu berbicara secara spontan, alangkah baiknya materi amanat yang akan disampaikan tetap ditulis dalam sebuah konsep yang rapi. Panjang pendeknya tulisan (konsep) itu tergantung alokasi waktu yang disediakan untuk menyampaikan amanat.
Persiapan pelaksanaan upacara bendera biasanya sudah jauh-jauh hari disusun oleh sekolah. Jadwal pembina pun sudah dibuat oleh Kepala Sekolah. Para guru yang akan bertugas –mewakili Kepala Sekolah sebagai pembina– dalam upacara bendera juga sudah diberi tahu sebelumnya. Maksudnya semua pihak yang terlibat (pejabat, petugas dan peserta) upacara dapat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelancaran dan kesuksesan upacara bendera nanti.
Bagi guru yang mendapat giliran sebagai pembina, waktu beberapa hari menjelang tampil sebagai pembina dapat dimanfaatkan untuk menyusun teks pidato yang akan dibawakan dalam upacara nanti. Sekali lagi, walaupun guru tersebut tidak akan membaca teks tersebut, namun persiapan teks pembina tetap lebih baik dari pada tanpa teks. Selain sebagai alat menjaga konsistensi materi pidato amanat juga secara tidak langsung sudah melatih diri untuk keterampilan menulis. Selain itu, tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh guru sebagai pembina upacara, dalam periode tertentu (satu tahun, dua tahun atau tiga tahun) dapat kembali direvisi, diedit untuk ditulis ulang. Kalau perlu, dikumpulkan menjadi sebuah tulisan lengkap, menjadi sebuah buku yang suatu saat bisa saja diperbanyak (dicetak). ***
http://edukasi.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar