SURAT DARI SM-3T
Sore ini, ketika saya ada di ruang sekretariat SM-3T di Gedung Gema,
pak Heru Siswanto datang. Beliau salah satu tim SM-3T. Tiga pucuk surat
dibawanya. Satu untuk saya, satu untuk pak Yoyok, satu untuk pak Heru
sendiri. Itu adalah surat dari Nanda, salah seorang peserta SM-3T yang
bertugas di Maluku Barat Daya (MBD). Kebetulan rumah Nanda di Mojokerto,
dekat dengan rumah pak Heru. Nanda berkirim surat kepada bapak ibunya
di Mojokerto, dan menitipkan tiga pucuk surat itu untuk kami bertiga.
Seperti seorang ibu yang sudah sangat lama menyimpan kerinduan pada
anaknya, saya langsung meraih surat yang diulurkan pak Heru,
meninggalkan pekerjaan saya mengecek data calon peserta PPG angkatan
pertama. Saya membuka amplop coklat itu dengan perasaan tidak sabar, dan
membacanya dengan seksama. Sambil membayangkan sosok itu. Nanda
Okkyanti, salah satu peserta SM-3T Unesa yang ditugaskan di Maluku Barat
Daya.
Surat itu tertanggal 2 Desember 2012. Nanda menulisnya
pada pukul 22.25 WIT. Menghayati kata demi kata yang ditulisnya dalam
surat itu, saya tidak bisa menahan haru. Huruf-hurufnya menjadi kabur
karena mata saya basah. Saya tidak tahan untuk tidak menangis. Saya
bangga pada anak-anak kami yang begitu luar biasa itu. Anak-anak muda
yang dengan sepenuh hati mengabdikan dirinya untuk anak-anak bangsa yang
sangat membutuhkan uluran tangannya. Saya tidak menangkap keluhan atau
penyesalan sedikit pun dari untaian kalimatnya, meski mereka hidup dalam
situasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan betapa sulitnya.
Sebaliknya adalah rasa syukur karena memeroleh kesempatan itu dan
komitmen untuk terus mengemban tugas mulia yang ada di pundak mereka.
"Ibu Luthfi, saya Nanda Okkyanti, salah satu anggota peserta SM-3T
Unesa 2012 penempatan Maluku Barat Daya. Sebelumnya kami tidak
membayangkan bagaimana kondisi kami, karena memang sangat sulit mencari
informasi tentang Maluku Barat Daya di internet. Yang kami tahu, MBD
terdiri dari pulau-pulau kecil. Setelah kami berangkat pun, belum ada
informasi yang lebih jelas. Karena saat tiba di Ambon dan ada kesempatan
beberapa hari tinggal di sana untuk menunggu pemberangkatan kapal, kami
mencoba bertanya-tanya pada masyarakat. Namun mereka pun belum pernah
ke MBD karena jangkauan yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama."
Itulah surat pembuka Nanda. Saya jadi ingat, ketika pemberangkatan
peserta ke MBD pada pertengahan Oktober yang lalu, Dr. Nanik Indahwati,
salah satu tim pendamping, dosen FIK, menelepon saya dari Ambon. Waktu
itu saya sendiri sedang ada di Menado dan bersiap untuk bertolak ke
Talaud, juga dalam rangka mendampingi pemberangkatan para peserta SM-3T.
Dia mengatakan kalau kapal yang akan membawa para peserta ke MBD
kehabisan bahan bakar, dan harus menunggu, mungkin sampai sekitar lima
hari. Bu Nanik bilang mungkin akan ada banyak pengeluaran tak terduga
karena yang jelas peserta harus ditanggung konsumsinya selama lima hari
itu. Belum lagi kalau harus terpaksa mencari penginapan.
Saya
spontan mengatakan ke bu Nanik, ambil keputusan terbaik untuk semua.
Kembali ke Surabaya tidak mungkin. Kalau memang harus mencari penginapan
dan menanggung konsumsi para peserta selama di Ambon, tidak masalah. Bu
Nanik dan tim yang paling tahu situasinya, maka saya menyerahkan segala
keputusan pada bu Nanik dan Tim. Ada bu Nanik, pak Muhajir, dan Juliar.
Konsekuensi membengkaknya dana operasional yang tak bisa dihindari
bukan kesalahan kita dan kami tinggal melaporkannya ke Dikti.
Kami terus berkabar untuk saling mengecek perkembangan. Ternyata setelah
berunding dengan tim, seluruh peserta SM-3T, petugas kapal, dan kepala
Dinas PPO MBD, maka diputuskan para peserta tidak perlu menyewa
penginapan, tapi menginap di kapal itu. Para peserta juga cukup puas
hanya disediakan dua kali makan sehari. Mereka harus melompat dari satu
kapal ke kapal lain untuk mencapai pantai dan menjemput kiriman makanan
mereka dari sebuah katering. Saya sungguh prihatin dengan kondisi
mereka.
Maka saya menelepon kepala dinas PPO ketika setelah
tiga hari mereka 'kampul-kampul' di atas kapal tanpa kejelasan kapan
kapal diberangkatkan. Waktu saya menelepon kadis, beliau baru saja tiba
di Ambon, juga dalam rangka menjemput para peserta dan menemui bu Nanik
dan tim. Beliau juga menugaskan dua orang stafnya serta petugas
kesehatan untuk menjemput para guru pengabdi itu. Demi menunjukkan
kesungguhannya dalam 'ngopeni' para guru yang akan bertugas di daerah
'kekuasaannya' itu, pak Kadis bermaksud melakukan negosiasi dengan
manajemen kapal.
Akhirnya, sebagaimana dikatakan bu Nanik,
kapal benar-benar baru berangkat setelah lima hari bersandar di Ambon.
Saya sangat mengkhawatirkan kondisi teman-teman tim dan tentu saja para
peserta. Tapi mereka meyakinkan saya melalui telepon dan sms, mereka
semua baik-baik saja. Angin laut yang panas menyengat ketika siang dan
dingin menusuk ketika malam hari memang sangat mempengaruhi kondisi
fisik mereka. Tapi, tanya mereka, bukankah kami semua sudah dibekali
dengan pelatihan ketahanmalangan?
Karena tidak memungkinkan tim
untuk mendampingi sampai ke MBD, maka bu Nanik dan tim melepas para
peserta di pelabuhan Galala Ambon. Bersama dua staf dari Dinas PPO dan
seorang petugas kesehatan mereka berlayar ke MBD. Tanggal 19 Oktober
sekitar pukul 00.15 mereka berangkat. Baru sekitar tiga jam setelah
kapal meninggalkan pelabuhan Galala Ambon, sinyal sudah tidak ada.
Hilang sama sekali. Dalam suratnya untuk pak Yoyok yang juga saya ikut
membacanya, Nanda bercerita: "Sekitar tiga jam keluar dari Pelabuhan
Galala Ambon kami sudah kehilangan sinyal. Dari situ sampai keesokan
hari kami sampai di pulau Damer, tidak ada sinyal. Dan setelah sampai di
pulau Babar, tepatnya di Tepa dan Letwurung tempat 12 teman kami
bertugas, tetap tidak ada satu sinyal pun. Hingga akhirnya tanggal 22
Oktober sekitar pukul 05.00 WIT kami tiba di pulau Semarta tepatnya di
desa Mahaleta, tempat saya bertugas. Sisa 19 orang dari kami turun di
sini semua. Langsung saya dan teman-teman singgah di rumah salah satu
guru yang sampai sekarang menjadi tempat singgah saya sebelum rumah
kepala desa selesai dibangun. Sampai di situ kami mengeluarkan HP dan
harapan punah, tidak ada sinyal setengah bahkan seperempat garis pun."
Saya membayangkan Sumba Timur, lalu Talaud. MBD, saya yakin, kondisinya
jauh lebih parah. Kami masih bisa sesekali menanyakan kabar pada para
peserta SM-3T yang ada di Sumba, Talaud, dan juga Aceh Singkil. Tapi
untuk MBD, kami sama sekali tidak bisa menanyakan kabar. Yang bisa kami
lakukan adalah menunggu mereka mengirim kabar, baik lewat telepon kabel
yang ongkosnya sangat mahal, atau lewat surat seperti ini.
Nanda menceritakan bahwa untuk mencapai desa lain, transportasi di sana
dengan menggunakan perahu motor (di sana disebut motor). Tidak ada
kendaraan bermotor di darat karena belum ada akses jalan. Untuk mencapai
desa sebelah, menurut Nanda, bisa menggunakan dua alternatif. Pertama
melalui laut menggunakan perahu motor dengan biaya 250 ribu-an. Yang
kedua melalui jalur darat dengan track berupa gunung-gunung tandus serta
pesisir pantai dengan bebatuan karang yang membuat kaki sulit
melangkah. Rata-rata perjalanan dari satu desa ke desa lain dapat
ditempuh dengan jarak dua jam jalan kaki.
"Sebelumnya saya
mewakili teman-teman mohon maaf karena sesampai di sini tidak bisa
langsung memberi kabar. Karena memang tidak ada sinyal sama sekali di
kecamatan Mdona Hyera tempat kami mengajar. Namun karena desa tempat
saya (Mahaleta) menjadi tempat berlabuhnya kapal, sehingga ada
kesempatan untuk saya menitip surat pada masyarakat yang pergi ke Kupang
untuk dikirim lewat pos. Kebetulan tanggal 15 Desember esok merupakan
kapal terakhir sebelum nanti akhir Desember ada musim barat yang tidak
ada kapal karena gelombang besar. Baru nanti sekitar bulan April kapal
kembali beroperasi. Sedikit informasi untuk tim monev yang ke MBD nanti,
ibu, supaya tidak salah informasi pemberangkatan kapal."
Para
guru muda itu, menurut Nanda, sekarang punya kebiasaan baru. Mengirim
surat yang dititipkan pada warga yang pergi ke desa sebelah baik yang
jalan kaki maupun naik perahu motor. "Surat pertama yang membuat saya
menangis adalah ketika tanggal 26 Oktober 2012 tepat hari raya Idul Adha
kami tidak bisa keluar desa. Kami berlebaran sendiri dengan diri kami
masing-masing. Rasanya sedih sekali, apalagi saat itu baru hari keempat.
Tepat sebelum maghrib ada murid kami berteriak, ada surat dari Tepa
(kecamatan sebelah yang dapat ditempuh dalam waktu satu hari dengan
kapal). Surat dari Risna dan Noval, isinya memberikan kabar dan
memberitahu kalau di tempat mereka ada sinyal. Saya tidak pernah
membayangkan sebelumnya di zaman modern seperti ini, saya masih bisa
merasakan berkomunikasi melalui surat. Surat menjadi begitu berharga
buat kami. Jadi sekarang kalau ada hal penting kami selalu mengirim
surat yang dititipkan pada masyarakat. Kalau ada kesempatan pun kami
saling mengirim masakan atau sayuran. Walau kedengarannya hal itu lucu
dan aneh, tapi so sweeettt...".
"Bahagia itu syukur". Begitu
lanjut Nanda. "Dulu kalimat itu hanya sebuah kalimat yang saya dengar
atau saya baca. Tapi di sini, setelah dua bulan saya banyak mendengar,
melihat dan mengalami, kalimat itu saya pahami maknanya. Bahagia itu
bukan dari seberapa besar atau seberapa banyak yang kita dapat, tapi
seberapa besar rasa syukur kita meski mungkin sedikit yang kita punya.
Di sini, bahagia itu ketika pulang sekolah lapar dan di meja ada sukun
rebus; bahagia itu ketika haus dan masih ada air masak walau masih
sedikit hangat; bahagia itu ketika di kamar mandi ada air bersih, ketika
mau masak ada kayu bakar, ketika di kebun ada daun singkong muda untuk
dibuat sayur. Bahagia itu ketika kita lapar dan tidak ada makanan
kecuali nasi putih yang dicampur garam dan kelapa (hahaha....rasanya
enak sekali)."
Nanda begitu pandai menguntai kata-kata.
Kalimatnya lancar, deskripsinya begitu detil, dan perasaannya begitu
terlibat. Ada dua lembar suratnya untuk saya, dua lembar untuk pak heru
dan berlembar-lembar untuk pak Yoyok. Nanda adalah alumnus PGSD,
mahasiswa pak Yoyok, tidak heran kalau dia begitu dekat dengan pak
Yoyok. Di suratnya untuk pak Yoyok dia begitu lepas bercerita, semua hal
yang unik, lucu, menyenangkan, sekaligus hal-hal yang mengharu-biru dan
menguras air mata. Membaca surat-surat itu, saya serasa ingin terbang
saja ke MBD, memeluk hangat mereka semua, melepas kerinduan saya pada
mereka. Anak-anak muda yang hebat dan membuat kami semua bangga.
Nanda juga mengirim CD berisi video dan foto-foto. Di dalam salah satu
video yang dibuatnya sendiri, "bermain sampan", nanda bermain sampan di
laut yang luar biasa indah dengan murid-muridnya. Dia mengayuh sampan
sampai agak ke tengah laut dan anak-anak kecil berkulit hitam itu
berebut menaiki sampannya. Riang sekali mereka. Foto-fotonya juga sangat
bagus. Konon, Nanda memang menyukai fotografi. Laut, bukit, gunung,
rumah, dapur, sekolah, jalan, semua dipotretnya. Sebuah fotonya yang
membuat hati saya bergetar dan mata mbrebes mili adalah ketika dia
berpose di pantai dengan tulisan" SM-3T Unesa" yang besar sekali terukir
di pantai. Juga sebuah foto temannya yang mengenakan topi, dan tulisan
"SM-3T Unesa" begitu jelas.
"Semoga ibu dan semua yang ada di
sana selalu baik-baik saja dan sehat. Kami tunggu kedatangan ibu dan tim
monev di MBD. Saya juga mengucapkan terimakasih pada ibu dan panitia
SM-3T hingga sekarang saya berada di tempat ini. Mungkin bukan hal yang
mudah pada awalnya. Tapi kami berusaha sebaik mungkin untuk beradaptasi
dan menjalankan hari-hari kami di sini. Banyak sekali pelajaran yang
saya dapat dalam segala keterbatasan dan kesederhanaan. Mungkin di sini
saya rindu Jawa dan semua yang di sana. Tapi ketika kembali ke Jawa
mungkin rindu saya tentang semua yang ada di sini akan lebih besar.
Mungkin dengan cara menjalani setiap waktu di sini sebaik-baiknya akan
meminimalisir rasa rindu ketika selesai masa tugas kami."
"Demikian surat saya, ibu. Semoga surat ini bisa sampai ke bu Luthfi.
Jika ada kesempatan lagi untuk berkirim surat atau telepon, insyaallah
saya akan berkabar lagi. Mohon doanya semoga kami selalu diberi
kesehatan dan kelancaran menjalankan tugas sebaik mungkin."
Selamat berjuang, Nanda. Selamat berjuang semua. Tentu saja doa kami
akan selalu menyertai kalian. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
kekuatan dan ketabahan yang berlipat-lipat agar kalian dapat menunaikan
tugas mulia ini dengan baik. Salam kami semua. Salam MBMI. Maju Bersama
Mencerdaskan Indonesia.
saluuut untuk perjuangannya mbk nanda, :)
BalasHapus