Pendidikan Gratis Itu Wajar
Isu
Sekolah Menengah Universal seolah membawa harapan baru bagi masyarakat.
Pendidikan wajib 12 tahun yang dicanangkan pemerintah membawa angin
segar bagi masyarakat yang masih tersendat dalam memperjuangkan anaknya
supaya berseragam putih abu-abu. Karena selama ini sekolah menengah
keatas memang dikenal masih membutuhkan biaya yang tinggi, mulai dari
biaya operasional sampai non operasional. Belum lagi jika sekolah itu
diberi label “Standar Nasional” dan “Standar Internasional”, maka hanya
kalangan atas dan menengah ke atas saja yang mampu mengenyam bangku di
sana. Maka wajar jika isu Sekolah Menengah Universal yang katanya akan
membebaskan biaya sekolah ini ditanggapi secara antusias oleh
masyarakat.
Yang tinggal masih menjadi persoalan
selanjutnya, yang juga belum menjadi sorotan pemerintah ialah pada
jenjang Pendidikan Tinggi. Pada jenjang ini, akses pendidikan makin
menyempit karena hanya bisa ditembus oleh beberapa orang saja. Yaitu
mereka-mereka yang sangat beruntung bisa lolos seleksi masuk perguruan
tinggi, menyingkirkan calon-calon mahasiswa lain yang juga ikut proses
seleksi. Padahal seleksi itu sendiri sudah penuh perjuangan karena hari
ini supaya bisa duduk di bangku kuliah ada berbagai jalur masuk dengan
memerlukan biaya yang bervariasi. Amat beruntung lagi jika kebetulan
atau tidak, si anak merupakan golongan keluarga kaya, sehingga bisa
menggunakan kekayaannya supaya dapat kuliah di manapun ia suka. Yang
juga beruntung (sekalipun sedikit) ialah yang miskin tapi pintar, ia
dapat kuliah sekalipun harus dengan perjuangan yang berliku, karena mau
tidak mau harus mencari dana beasiswa. Yang paling tidak beruntung ialah
mereka-mereka yang oleh sistem dianggap miskin dan bodoh, mereka sampai
kapanpun tidak akan mampu mengenyam bangku kuliahan. Maka, paradigma
(cara pandang) masyarakat hari ini sangat dapat dimaklumi jika
menganggap bahwa “hebat” dan “bangga” adalah ketika anak-anak mereka
dapat mengenyam bangku kuliah. Karena hari ini, pendidikan masih
dianggap komoditas yang mahal.
Bila kita kembali pada
tahun 2000, ternyata pada saat itu ada sebuah pertemuan bernama World
Education Forum di Dakkar, Senegal. Negara-negara yang totalnya
berjumlah 189 termasuk dengan partisipasi dari beberapa
organisasi-organisasi yang jumlahnya mencapai 1100 hadir dan menyepakati
beberapa poin penting :
1. Memperluas pendidikan untuk anak usia dini
2. Menuntaskan wajib belajar untuk semua
3. Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa
4. Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan
5. Menghapuskan kesenjangan gender
6. Meningkatkan mutu pendidikan
Beberapa poin tersebut, ringkasnya merupakan misi UNESCO bersama
negara-negara di dunia (termasuk Indonesia) dengan slogannya yang
terkenal : Education for All. Yaitu sebuah pendidikan yang dapat diakses
oleh siapapun, pendidikan untuk semua kalangan.
Bila
kita mengingat kembali pada tahun 1966, lahir pula Internatinal Covenant
of Economics, Social, and Culture Rights (ICCPR). Dalam artikel 13 ayat
2 huruf (a), (b), dan (c) dikatakan :
The States Parties to the present Covenant recognize that, with a view to achieving the full realization of this right:
(a) Primary education shall be compulsory and available free to all;
(b) Secondary education in its different forms, including technical and
vocational secondary education,shall be mad e generally available and
accessible to all by every appropriate means, and in particularby the
progressive introduction of free education;
(c) Higher
education shall be made equally accessible to all, on the basis of
capacity, by every appropriate means, and in particular by the
progressive introduction of free education;
Jika diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia :
Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:
a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis bagi semua orang;
b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan
teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan
terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya
melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
c)
Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata
atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui
pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
Namun
Indonesia baru meratifikasi Kovenan ini pada tahun 2005, yakni melalui
UU No 11 tahun 2005. Berarti Indonesia “mangkir” selama 39 tahun
dibanding negara-negara lainnya dalam menjamin warganya untuk mengenyam
akses pendidikan. Yang dapat diambil intisari dari ketentuan tersebut,
bahwasanya pendidikan merupakan hak asasi manusia yang bersifat
universal dan adalah kewajiban negara untuk menjamin hak tersebut
diperoleh warganya. Untuk memperoleh hak tersebut, maka disepakatilah
bahwa pendidikan dala jenjang apapun harus gratis.
Di
Indonesia, hal ini sesuai dengan Konstitusi kita yakni Undang Undang
Dasar 1945. Pada pasal 31 ayat (1) dikatakan bahwa “Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”. Bahkan pemerintah dalam hal ini memiliki
kewajiban untuk menjamin hak tersebut, sebagaimana tertuang dalam ayat
(3) bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Ditambah lagi jika kita melihat
Pembukaan (Preamble) UUD 1945 sebagai cita-cita negara, dikatakan bahwa
“..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Indonesia ternyata memiliki janji
kepada warganya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lantas mengapa paradigma masyarakat masih memandang bahwa pendidikan
adalah barang yang mahal? Mengapa masyarakat masih merasa bahwa yang
sanggup mengenyam pendidikan hanyalah orang-orang tertentu saja. Di Kuba
dan di Belanda misalnya, pendidikan tidak memiliki sekat-sekat antara
yang “dasar” dengan “menegah” dan yang “tinggi”. Ataupun yang
“nasional”, “swasta”, dan “internasional”. Juga yang “beasiswa kurang
mampu” ataupun “yang biaya tinggi”. Tidak ada pemisahan hak bagi si kaya
ataupun si miskin, si anak pekerja ataupun anak pengusaha, anak bodoh
ataupun anak pintar. Singkatnya, tidak ada diskriminasi secara sosial
maupun ekonomi dalam mengakses pendidikan. Andai cara pandang kita tidak
menganggap bahwa pendidikan adalah barang yang mahal, maka kita tidak
mungkin menganggap bahwa pendidikan gratis adalah sebuah keajaiban.
Sebagai subyek yang telah memiliki kesadaran akan haknya, maka setelah
sadar kita akan menuntut hak kita semua untuk mendapatkan akses
pendidikan secara terbuka.
Mungkin saja, kita semua hari
ini masih memiliki cara pandang yang menganggap bahwa keadaan seseorang
merupakan akibat dari orang itu sendiri. Cara pandang ini dinamakan juga
dengan paradigma liberal. Semisal ada seorang anak yang miskin dan
bodoh. Orang yang berparadigma liberal akan menganggap bahwa anak itu
miskin karena ia tidak bekerja dan ia bodoh karena tidak sekolah. Tapi
benarkah demikian?
Apakah seorang anak sudah dapat
menentukan nasib dirinya akan menjadi miskin dan bodoh? Tentu saja
tidak. Jika kita mampu memandang secara obyektif, anak tersebut menjadi
miskin dan bodoh bukan karena dirinya sendiri yang mengkehendaki, tapi
karena sistem. Sistem dalam hal ini adalah tatanan sosial, politik, dan
hukum yang mempengaruhi anak tersebut. Mungkin saja karena negara tidak
mengurusi anak itu, sehingga ia miskin dan bodoh. Cara berpikir yang
demikian merupakan paradigma kritis. Yaitu paradigma yang menyatakan
keadaan seseorang tidak hanya disebabkan atas kehendak orang itu
sendiri, tapi juga karena sistem kelas masyarakat yang mempengaruhinya.
Nah, kamu sendiri menggunakan paradigma yang mana?
Sudah
saatnya kita mengubah paradigma kita. Sudah saatnya sebagai insan yang
memiliki hak asasi mendapatkan haknya, terutama hak pendidikan. Bukan
hanya memperjuangkan hak diri sendiri, tapi juga menolong orang lain
sebagai bentuk kepedulian sesama manusia.
http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/22/pendidikan-gratis-itu-wajar-518946.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar