Selasa, 18 Maret 2014

PERAN SEKOLAH DAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KARAKER PENDIDIKAN

Penguatan pendidikan moral (moral education ) atau
pendidikan karakter (character education ) dalam konteks
sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral
yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut
antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas,
maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja,
kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan
menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi,
dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah
sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara
tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan
karakter.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling ), dan
perilaku moral ( moral behavior ). Berdasarkan ketiga
komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik
didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan
untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.
Bagan di bawah ini merupakan bagan keterkaitan ketiga
kerangka pikir ini.
a. Pendidikan Karakter Menurut Lickona
Secara sederhana, pendidikan karakter dapat
didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan
untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk
mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di
sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh
Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian
pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja
untuk membantu seseorang sehingga ia dapat
memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai
etika yang inti.
b. Pendidikan Karakter Menurut Suyanto
Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
c. Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda
atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan
mengakar pada kepribadian benda atau individu
tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong
bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan
merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).
d. Pendidikan Karakter Menurut Kamus Psikologi
Menurut kamus psikologi, karakter adalah kepribadian
ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya
kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan
sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).
Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan
nilai (values education ) melalui sekolah merupakan
usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Ada 18
butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu , Religius,
Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri,
Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan,
Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/
komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli
lingkungan, Peduli sosial, Tanggung jawab.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai
negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang
berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu
warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara
keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai
the deliberate us of all dimensions of school life to
foster optimal character development (usaha kita secara
sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/
madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara
optimal.
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang
tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara
metode pembelajaran yang sesuai adalah metode
keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian
dan hukuman.
Pendidikan karakter, mutlak diperlukan bukan hanya di
sekolah saja, tapi di rumah dan di lingkungan sosial.
Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan
lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia
dewasa. Di masa kini kita akan menghadapi persaingan
dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan negara di
dunia. Bahkan kita yang masih akan berkarya di tahun
tersebut akan merasakan perasaan yang sama. Tuntutan
kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya
membutuhkan good character . Karakter adalah kunci
keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika,
90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku
buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan
hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat
penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen
keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh
Emotional Quotient (EQ) .
Dari sudut pandang psikologis, terjadi penurunan
kualitas “usia psikologis” pada anak yang berusia 21
tahun pada tahun 2001, dengan anak yang berumur 21
pada tahun 2013. Maksud usia psikologis adalah usia
kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan yang
berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak
sekarang usia 21 tahun seakan mereka seperti berumur
12 atau 11 tahun.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga
berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan
berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan
kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa
tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa
membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik
yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa
meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa
semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan
rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di
tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi
bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri
dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia,
sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in
mind and not in morals is to educate a menace to
society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan
otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-
bahaya kepada masyarakat)
Peranan Sekolah dalam Pembentukan Karakter Anak
Sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak
siswa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan
kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan
hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis
watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara
maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon
1974).
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat
“transfer of knowledge ” belaka. Seperti dikemukakan
Fraenkel (1977: 1-2), sekolah tidaklah semata-mata
tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan
melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah
lembaga yang mengusahakan usaha dan proses
pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-
oriented enterprise ). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip
John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah
sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah
usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan
usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol
pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui
sekolah, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui
pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui
penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Secara umum,
kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua
bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral,
budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang
dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia
sebagai “keindahan”, yang mereka senangi. Sedangkan
etika mengacu kepada hal-hal tentang justifikasi
terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-
standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang
bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan
sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai
moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan
mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh
besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai
estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari
perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996: 321),
situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang
dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan
pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka
upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya
menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat
menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan
bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang
sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan
dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan
tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam
menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-
nilai yang buruk.
Usaha pembentukan watak di sekolah, melalui
pendidikan karakter berbarengan dengan pendidikan
nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menerapkan pendekatan “modelling” atau “ exemplary”
atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan
membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan
dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar
melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga
kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah
mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup (living
exemplary) bagi setiap siswa. Mereka juga harus terbuka
dan siap untuk mendiskusikan dengan siswa tentang
berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
b. Menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada siswa
secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik
dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan
langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan
menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan
sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging)
berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai
yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu;
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan
berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas
setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi
dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap
dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn al-
zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap
dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi
secara terus menerus dan konsisten.
c. Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter
(character-based education ). Hal ini dilakukan dengan
menerapkan character-based approach ke dalam setiap
mata pelajaran nilai yang ada di samping mata
pelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan
karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan
kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila dan
sebagainya. Memandang kritik terhadap mata pelajaran-
mata pelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi
baik dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga
mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar
hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu
pembentukan kembali karakter dan jati diri bangsa.
Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter Anak
Ungkapan indah Phillips dalam The Great Learning
(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there
will be beauty in the character; if there is beauty in the
character, there will be harmony in the home; if there is
harmony in the home, there will be order in the nation;
if there is order in the nation, there will be peace in the
world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita
hadapi seperti dikemukakan di atas, pendidikan karakter
merupakan langkah penting dan strategis dalam
membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang
pembentukan masyarakat Indonesia baru. Pendidikan
karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumah tangga
dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas
(masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan
educational networks yang nyaris terputus antara ketiga
lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan
pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara
ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan
dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai
lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter
pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali.
Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah
kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih
sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga
sebagai “school of love” dapat disebut sebagai
“madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang
penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada
pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis
dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga
sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa
terbaik (khayr ummah) yang merupakan ummah wahidah
(bangsa yang satu) dan ummah wasath (bangsa yang
moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat
terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan
dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a,
keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama;
keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan
untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama
dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan
dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling
menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh.
Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak
berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam
usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak
konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang
sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena
itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan
setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan
pendidikan seumur hidup (life long learning ), min al-
mahdi ila al-lahdi.
Dari keluarga mawaddah wa rahmah dengan ciri-ciri
seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki potensi
dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses
pembelajaran di sekolah. Dan, sekali lagi, sekolah seperti
sudah sering dikemukakan banyak orang seyogyanya
tidak hanya menjadi tempat belajar, namun sekaligus
juga tempat memperoleh pendidikan.

Translate

Sign In Facebook

My Tweet

Fakta Keren