Kamis, 20 Februari 2014

KETIKA TUHAN BERKEHENDAK

Suatu hari seorang pria hendak menghantar putra
tunggalnya ke sekolah. Sebelum berangkat, pria itu
mengajak istri dan putranya berdoa seperti biasanya.
“Tuhan, hidupku, hidup istriku dan hidup anakku hari ini
kuserahkan kepadaMU. Apapun yang terjadi pada hari ini
terserah kehendakMu saja. Amin”
Saat dalam perjalanan menuju ke sekolah si anak, mereka
mengalami kecelakaan yang merenggut kedua mata sang
anak. Ibu dari anak itu begitu histeris dan ayahnya amat
terpukul, tetapi si anak tenang-tenang saja.
Karena kedua matanya buta, anak tersebut tidak dapat
melanjutkan sekolah. Ia hanya bisa tinggal dirumah dan
bermain piano tua peninggalan kakek buyutnya. Selama
bertahun-tahun ia hanya bermain piano hingga ia menjadi
seorang pianis buta yang terkenal, namun selama
bertahun-tahun itu pula kedua orang tuanya menyalahkan
Tuhan atas kebutaannya.
Dengan penghasilannya sebagai seorang pianis, anak itu
bisa menghidupi keluarganya dan mengangkat keadaan
keluarganya yang dulunya serba pas-pasan. Ia bisa
menikah dan memiliki anak-anak yang sehat.
Pada suatu hari, sebuah stasiun tivi swasta
mewawancarainya dan keluarga. Ketika kedua orang
tuanya ditanyai, mereka mulai melontarkan ketidak puasan
mereka pada Tuhan. Mereka menyalahkan Tuhan yang
mengambil mata anaknya padahal anak itu begitu cerdas
dan menjadi kebanggaan mereka. Bagaimana mereka
begitu berhemat agar si anak bisa terus sekolah walau
sering kali mereka hanya bisa makan sekali sehari agar
bisa membeli buku pelajaran. Mereka telah
menggantungkan banyak cita-cita pada anaknya, namun
Tuhan dengan ‘tidak adilnya’ merenggut penglihatan anak
semata wayang mereka.
Mendengar itu, si anak lalu tertawa kecil dan mulai bicara
“Tuhan itu sayang sama saya, tidak pernah sekalipun Ia
berlaku tidak adil. Malam hari setelah kecelakaan itu, saya
bermimpi bertemu Tuhan dan saya melakukan hal yang
sama seperti ayah dan ibu. Saya mengeluh dan bertanya
mengapa harus saya yang mengalami musibah ini.
Mengapa Ia harus mengambil mata saya, tidak cukupkah
kami hidup menderita dan kekurangan hingga
penglihatanku juga harus diambil? Lalu Tuhan menjawab
saya – ‘bukankah kamu dan kedua orang tuamu sendirilah
yang berserah sesuai kehendakku? Sekarang saat aku
berkehendak, mengapa engkau mengeluh?’ – Tuhan
berdiam diri sejenak dan memandangku – ‘Tunggu dan
rasakanlah, rencanaKu itu indah bagimu’ katanya lagi.
Akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkannya semua
pada Tuhan. Hidup kami dulu teramat susah, untuk makan
saja sering kami kelaparan karena memaksakan diri untuk
membayar biaya sekolahku. Ketika aku buta dan terpaksa
berhenti sekolah, kami baru sedikit bisa bernafas. Piano
tua warisan kakek yang tidak laku-laku dijual itu menjadi
satu-satunya hiburanku, bahkan membawa hidupku hingga
seperti saat ini. Coba bayangkan andai Tuhan tidak
mengambil mataku, paling-paling aku menjadi pegawai
rendahan seperti ayah dahulu.”
Si anak menghela nafasnya lalu berkata dengan penuh
keyakinan, “Apapun yang terjadi saat ini adalah kehendak
Tuhan yang indah. Oleh karena itu, hingga saat ini pun aku
tetap berserah pada kehendakNya. Dan ketika Ia
berkehendak, aku tidak akan mengeluh”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Sign In Facebook

My Tweet

Fakta Keren